Jakarta, Bidik-kasusnews.com– Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, menyetujui satu permohonan penyelesaian perkara tindak pidana narkotika melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Persetujuan ini diberikan dalam ekspose perkara yang digelar pada Rabu, 30 Juli 2025.
Permohonan yang disetujui berasal dari Kejaksaan Negeri Sanggau dengan tersangka Putra.Sp alias Etot bin Syahari, yang dijerat dengan Pasal 112 Ayat (1) atau Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Mengapa permohonan dikabulkan?
JAM-Pidum mengungkapkan bahwa keputusan menyetujui penyelesaian perkara melalui jalur keadilan restoratif didasarkan pada sejumlah pertimbangan objektif:
Hasil laboratorium forensik menunjukkan tersangka positif menggunakan narkotika.
Tersangka tidak terlibat dalam jaringan peredaran gelap narkoba dan hanya berperan sebagai pengguna terakhir (end user).
Tidak terdapat riwayat pencantuman nama tersangka dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Asesmen terpadu menyatakan tersangka merupakan pecandu, korban penyalahgunaan, atau penyalah guna narkotika.
Tersangka belum pernah menjalani rehabilitasi atau baru menjalani maksimal dua kali, dibuktikan dengan surat keterangan resmi.
Tidak ada indikasi keterlibatan sebagai produsen, pengedar, bandar, atau kurir.
Apa langkah selanjutnya?
JAM-Pidum secara resmi meminta Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau untuk segera menerbitkan Surat Ketetapan Penyelesaian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif. Hal ini mengacu pada Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang penyelesaian perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.
“Pendekatan ini merupakan implementasi asas Dominus Litis Jaksa, yang menempatkan jaksa sebagai pengendali perkara sekaligus menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan dalam penegakan hukum,” tegas Asep Nana Mulyana.
Kapan dan bagaimana sistem ini diterapkan?
Keadilan restoratif dalam perkara narkotika mulai digalakkan sejak keluarnya pedoman resmi Kejaksaan Agung pada 2021. Sistem ini memungkinkan pecandu atau penyalah guna yang memenuhi kriteria tertentu untuk menjalani rehabilitasi ketimbang hukuman pidana, dengan tujuan mendorong pemulihan sosial dan kesehatan, bukan sekadar pemenjaraan.
Dengan persetujuan ini, Kejaksaan Agung kembali menegaskan komitmennya dalam menangani kasus narkotika secara proporsional dan berorientasi pada pemulihan, bukan hanya penghukuman.(AGUS)
Sumber: Puspenkum Kejagung