Jakarta, Bidik-kasusnews.com – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana kembali menegaskan komitmen penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan restoratif dengan menyetujui penghentian penuntutan terhadap tujuh perkara dalam ekspose virtual yang digelar Senin, 24 Maret 2025. Salah satu perkara yang mendapat persetujuan adalah kasus pencurian yang melibatkan tersangka Maryanti binti Engkos dari Kejaksaan Negeri Lebak.
Kasus ini bermula dari aksi pencurian tiga unit handphone di sebuah warung di Kampung Marga Mulya, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak, pada 26 Januari 2025. Maryanti, yang bekerja di warung tersebut, melihat handphone milik tiga saksi sedang diisi daya lalu mengambilnya tanpa seizin pemilik. Kerugian yang ditaksir mencapai Rp 4 juta.
Namun, dalam perjalanan proses hukum, Kejaksaan Negeri Lebak bersama pihak terkait menginisiasi penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif. Maryanti mengakui kesalahannya, menyesali perbuatannya, dan meminta maaf kepada para korban. Setelah musyawarah yang dilakukan secara sukarela, para korban sepakat untuk memberikan maaf dan tidak melanjutkan perkara ke pengadilan.
Kepala Kejaksaan Negeri Lebak kemudian mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Banten, yang kemudian diajukan ke JAM-Pidum dan akhirnya disetujui.
Selain kasus Maryanti, enam perkara lain juga mendapat persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Sebagian besar melibatkan kasus pencurian dan penggelapan dalam jabatan dari berbagai wilayah, termasuk Tangerang Selatan dan Sleman.
Restorative Justice: Jalan Tengah Menuju Hukum yang Berkeadilan
Pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain:
✔️ Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan maaf.
✔️ Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
✔️ Ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun.
✔️ Perdamaian dilakukan secara sukarela dan disepakati oleh kedua belah pihak.
✔️ Penyelesaian melalui jalur hukum tidak akan memberikan manfaat lebih besar bagi korban maupun tersangka.
Keputusan ini diharapkan dapat menjadi solusi hukum yang lebih manusiawi dan proporsional, khususnya bagi perkara-perkara ringan yang dapat diselesaikan melalui pendekatan dialog dan musyawarah.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri diminta segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai bentuk kepastian hukum bagi masyarakat,” tegas JAM-Pidum dalam ekspose tersebut.
Dengan semakin banyaknya perkara yang diselesaikan melalui pendekatan restorative justice, sistem hukum Indonesia diharapkan dapat lebih adaptif dalam menyelesaikan perkara secara berkeadilan, tanpa mengesampingkan prinsip kepastian dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat luas.(Agus)