Jakarta | Bidik-kasusnews.com – Polemik dualisme kepemimpinan di tubuh Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) kembali mencuat. Hal ini dipicu terbitnya Surat Keputusan (SK) Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang mengesahkan kepengurusan SOKSI versi Misbakhun pada 2 September 2025.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) SOKSI, Riko Heryanto, menilai penerbitan SK tersebut sarat kejanggalan dan berpotensi merusak marwah organisasi. Menurutnya, sejak Musyawarah Nasional (Munas) 2010, SOKSI yang sah dipimpin oleh Ketua Umum Ali Wongso Sinaga dan telah terdaftar secara legal di Kemenkumham.
“Bagaimana mungkin organisasi bernama Depinas SOKSI tiba-tiba berubah menjadi Organisasi SOKSI hanya lewat SK Kementerian? Ini jelas pengambilalihan paksa nama organisasi,” tegas Riko dalam konferensi pers di Kantor Depinas SOKSI, Epicentrum, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Ia menyebut perubahan nama organisasi dalam SK Kemenkumham tanpa proses hukum yang sah merupakan ironi besar. “Tidak mungkin nama organisasi bisa berubah hanya karena pembaruan struktur. Anehnya, hal ini justru disahkan oleh Dirjen AHU,” lanjutnya.
Atas dasar itu, Riko mendesak Kemenkumham segera membatalkan SK kepengurusan SOKSI versi Misbakhun. Menurutnya, langkah tersebut penting untuk menjaga kepastian hukum, memulihkan kepercayaan publik, dan menegakkan wibawa lembaga negara.
“Dengan membatalkan SK itu, Kemenkumham menunjukkan komitmen menjaga hukum dan tidak memberi ruang pada praktik penyalahgunaan wewenang,” ujar Riko.
Lebih jauh, Riko menjelaskan bahwa polemik ini bermula sejak 2020, ketika Misbakhun yang saat itu menjabat Sekretaris Jenderal Depinas SOKSI mendaftarkan organisasinya ke Kemenkumham dengan nama mirip SOKSI. Pendaftaran itu menimbulkan kebingungan di kalangan kader maupun publik, seolah-olah terdapat dua SOKSI yang sah.
Riko yang juga caleg Partai Golkar dalam Pemilu 2024 menilai langkah Misbakhun tidak hanya manipulatif, tetapi juga berpotensi menodai nama baik organisasi. “Kalau ingin memimpin, lakukan dengan cara legal. Jangan merusak marwah organisasi,” katanya.
Ia juga mengingatkan agar politisi dan pejabat negara belajar dari gelombang demonstrasi besar di berbagai negara yang kerap dipicu penyalahgunaan wewenang. “Rakyat sudah melek hukum, mereka bisa menilai dengan jelas. Kalau praktik seperti ini dibiarkan, keresahan publik akan terus berulang,” tandasnya.
Menutup pernyataannya, Riko menegaskan kembali bahwa SK Dirjen AHU tentang SOKSI versi Misbakhun perlu ditinjau ulang. “SK itu jelas mengindikasikan dugaan penyalahgunaan wewenang. Demi keadilan, etika, dan kepastian hukum, sudah seharusnya dibatalkan,” pungkasnya. ( Fahmi)