Jakarta | Bidik-kasusnews.com – Polemik dualisme kepemimpinan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) kembali mencuat setelah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) menerbitkan Surat Keputusan (SK) kepengurusan atas nama SOKSI versi Misbakhun pada 2 September 2025.
Terbitnya SK tersebut menimbulkan kebingungan di kalangan kader SOKSI, mengingat kepengurusan resmi SOKSI sejak Musyawarah Nasional (Munas) 2017 telah dipimpin Ketua Umum Ali Wongso Sinaga dan tercatat sah di Kemenkumham.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) SOKSI, Riko Heryanto, mempertanyakan legalitas SK itu. Ia menilai penerbitan SK tersebut janggal karena Misbakhun sebelumnya tercatat sebagai pimpinan organisasi berbeda, yakni Depinas SOKSI, bukan SOKSI.
“Bagaimana mungkin organisasi bernama Depinas SOKSI bisa berubah nama menjadi Organisasi SOKSI hanya lewat pembaruan SK? Ini jelas pengambilalihan paksa nama organisasi,” tegas Riko kepada wartawan di Kantor Depinas SOKSI, Epicentrum, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Riko menambahkan, perubahan nama organisasi dalam SK tanpa dasar hukum yang jelas merupakan bentuk dugaan penyalahgunaan wewenang. Karena itu, ia mendesak Kemenkumham segera membatalkan SK SOKSI versi Misbakhun.
“Dengan pembatalan itu, Kemenkumham bisa mengembalikan fungsi penegakan hukum dan menjaga marwah lembaga negara,” ujarnya.
Lebih lanjut, Riko menjelaskan akar persoalan ini bermula pada tahun 2020, ketika Misbakhun sebagai Sekjen Depinas SOKSI mendaftarkan organisasinya ke Kemenkumham dengan nama yang mirip SOKSI. Pendaftaran itu memicu kebingungan publik karena menimbulkan kesan seolah ada dua organisasi SOKSI yang sah.
Riko yang juga calon legislatif DPR RI dari Partai Golkar pada Pemilu 2024 mengaku kecewa atas langkah tersebut. Menurutnya, organisasi tidak boleh diambil alih dengan cara manipulatif.
“Kalau ingin memimpin organisasi, lakukan secara legal. Jangan pakai cara akal-akalan yang justru merusak marwah organisasi,” katanya.
Ia juga mengingatkan politisi dan pejabat negara agar belajar dari gelombang demonstrasi besar, baik di Indonesia maupun luar negeri, yang dipicu keresahan rakyat terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
“Masyarakat kini sudah melek hukum, mereka bisa melihat dengan jelas praktik penyalahgunaan wewenang. Kalau kebiasaan ini tidak dihapuskan, keresahan publik akan terus terjadi,” tegas Riko.
Menutup pernyataannya, Riko kembali menekankan agar SK Kemenkumham cq Dirjen AHU terkait kepengurusan SOKSI versi Misbakhun ditinjau ulang. “SK itu jelas mengindikasikan dugaan penyalahgunaan wewenang dan pemaksaan kehendak. Demi kepastian hukum dan etika, seharusnya segera dibatalkan,” pungkasnya. ( Fahmi)