JATENG;Bidik-kasusnews.com
Jepara – Keresahan mulai terasa di tengah masyarakat Desa Sinanggul, Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara. Aroma ketidakterbukaan dalam pengelolaan aset desa mulai dikeluhkan sejumlah warga, menyusul dugaan penyalahgunaan tanah kas desa oleh oknum perangkat desa. Kini, suara warga mulai berani muncul ke permukaan, menuntut kejelasan dan transparansi dari pemerintah desa.
Sorotan utama tertuju pada bekas Lapangan Bola Desa Sinanggul, yang kini telah berubah wajah menjadi deretan kios dan ruko. Lokasi yang sebelumnya digunakan masyarakat untuk kegiatan olahraga itu kini menjadi pusat pertanyaan besar: atas dasar apa lapangan tersebut dibangun kios?
“Saat ini sudah berdiri ruko-ruko di lapangan. Katanya untuk PAD, tapi tidak ada keterbukaan soal pendapatan dan peruntukannya. Kami khawatir ini hanya akal-akalan,” ujar salah satu warga RW 02 yang meminta namanya disamarkan, Senin (21/7/2025).
Tak hanya soal lapangan, warga juga menyoroti tanah lambiran yang membentang di sepanjang Jalan KH Nawawi, yang kini dijadikan lahan sewa untuk kios dan gudang. Sistem bagi hasil yang digunakan—50% untuk Pemkab Jepara, 30% desa, dan 20% untuk lingkungan RT—dinilai janggal dan tidak tersosialisasi dengan baik.
“Uang sewa bervariasi, tapi tidak jelas bagaimana pemanfaatannya untuk warga. Seharusnya tanah desa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, bukan jadi ladang bisnis yang keuntungannya tak jelas arah,” tambah warga lainnya.
Menurut pengakuan beberapa warga dari RW I, mereka juga dikenakan sewa tanah dengan nominal antara Rp1,5 juta hingga Rp2,6 juta per tahun. Namun yang membuat miris, banyak warga yang tak tahu kemana dana tersebut mengalir.
“Kalau memang benar PAD kita besar dari tanah-tanah itu, kenapa pembangunan desa biasa-biasa saja? Harusnya sudah banyak kemajuan,” ujar Ks, salah satu warga.
Lebih menguatkan lagi, pernyataan dari tokoh masyarakat NA yang pernah terlibat dalam pembangunan lapangan tersebut pada era Bupati Jepara Soedikto (1976–1981). Ia menyebut lapangan yang kini sudah dipadati bangunan komersial itu awalnya adalah tanah dengan status Hak Pakai, bukan milik desa.
“Nomor bidangnya 03661, luas 7.448 meter persegi. Kalau memang sekarang diklaim milik desa, ya tunjukkan bukti hukumnya. Jangan asal bangun,” tegasnya.
Keresahan ini tidak hanya berhenti pada warga biasa. Tokoh agama setempat pun menyuarakan harapan serupa. Menurutnya, pemerintah desa harus menjunjung tinggi prinsip keterbukaan dan tanggung jawab publik.
“Kalau pemerintah desa tidak transparan, kepercayaan warga bisa runtuh. Sudah saatnya semua dibuka, jangan ada yang ditutup-tutupi,” ujar Kh, tokoh agama lokal.
Warga berharap, pemerintah desa tidak tinggal diam dan segera memberikan klarifikasi serta pertanggungjawaban kepada masyarakat. Selain itu, jika ditemukan indikasi pelanggaran, aparat penegak hukum diminta turun tangan agar pengelolaan aset desa kembali pada jalur yang benar.