Jakarta | Bidik-kasusnews.com – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang diajukan Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum), Selasa (9/9/2025). Sidang dengan agenda perbaikan permohonan itu menyoroti Pasal 8 UU Pers, yang dianggap terlalu normatif dan tidak memberikan perlindungan hukum nyata bagi wartawan.
Ketua Umum Iwakum Irfan Kamil menjelaskan, bunyi Pasal 8 yang hanya menyatakan “wartawan mendapat perlindungan hukum” dinilai multitafsir dan gagal menghadirkan kepastian hukum. Akibatnya, jurnalis masih rentan menghadapi intimidasi maupun kriminalisasi saat menjalankan tugas.
“Pasal ini seolah-olah sudah melindungi wartawan, padahal praktik di lapangan tidak demikian. Tidak ada mekanisme jelas tentang bagaimana perlindungan itu diberikan,” ujar Irfan.
Dalam permohonan yang diperbaiki, Iwakum menambah seorang pemohon baru, yaitu Rizky Suryarandika, wartawan yang mengalami intimidasi ketika meliput di sekitar Markas Brimob Kelapa Dua, Depok, pada 30 Agustus 2025. Saat itu, Rizky dipaksa aparat menghapus dokumentasi liputannya, telepon genggamnya diperiksa, dan kartu persnya difoto tanpa alasan jelas.
“Peristiwa yang menimpa Rizky adalah bukti lemahnya perlindungan hukum bagi wartawan. Padahal ia hanya menjalankan tugas jurnalistik yang dijamin undang-undang,” tegas Irfan.
Permintaan ke MK
Koordinator Tim Hukum Iwakum, Viktor Santoso Tandiasa, menuturkan pihaknya meminta MK menafsirkan Pasal 8 UU Pers sebagai inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
“Kami meminta MK menegaskan bahwa wartawan tidak bisa dipanggil, diperiksa, digeledah, ditangkap, atau ditahan saat melaksanakan profesinya, kecuali atas izin Dewan Pers,” ujar Viktor.
Menurutnya, kepastian hukum ini sangat penting agar wartawan benar-benar bisa bekerja dengan aman tanpa rasa takut. “Kalau permohonan ini dikabulkan, kasus seperti yang dialami Rizky tidak akan terulang lagi,” tambahnya.
Petitum Permohonan
Dalam petitumnya, Iwakum dan Rizky meminta MK:
- Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya.
- Menyatakan Pasal 8 UU Pers bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
- Wartawan tidak dapat digugat secara perdata maupun dikenai tindakan kepolisian saat menjalankan profesinya sesuai kode etik pers.
- Pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pers.
- Memerintahkan putusan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Iwakum menegaskan, langkah hukum ini bukan hanya demi kepentingan organisasinya atau Rizky semata, melainkan untuk memperkuat kemerdekaan pers di Indonesia. “Kami berharap MK memberikan kepastian hukum sehingga wartawan tidak lagi berada dalam posisi rentan,” pungkas Viktor. (Agus)