JATENG:Bidik-Kasusnews.com
Jepara – Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B Unit 5 dan 6 yang resmi beroperasi pada September 2022 terus menjadi sorotan, terutama terkait pengelolaan dana corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial lingkungan (TJSL). Sejumlah warga yang tergabung dalam Koalisi Kembang Bersatu—gabungan masyarakat dari empat desa, yakni Tubanan, Balong, Kancilan, dan Jinggotan—melakukan audiensi dengan DPRD Kabupaten Jepara pada Selasa (18/3/2025).
Dalam pertemuan tersebut, mereka mengajukan dua tuntutan utama. Pertama, mereka meminta transparansi dalam pengelolaan dana kompensasi. Kedua, mereka menolak adanya monopoli dalam distribusi dana CSR.
Tanggapan Beragam terhadap Tuntutan Warga
Ketua Dewan Pimpinan Kabupaten (DPK) Partai Prima Jepara, Muhammad Mustavit, menanggapi tuntutan tersebut dengan nada kritis. Menurutnya, advokasi yang dilakukan Koalisi Kembang Bersatu tidak substantif dan isu yang diperjuangkan terus berubah-ubah, bahkan dinilai provokatif.
“Tuntutan ini sudah pernah dibahas dalam pertemuan sebelumnya di sebuah rumah makan di Pantai Bondo pada Rabu (22/1/2025),” ujar Mustavit.
Ia menegaskan bahwa transparansi terkait dana CSR dan pemanfaatan limbah FABA telah disampaikan baik oleh perusahaan maupun pemerintah desa di sekitar PLTU Tanjung Jati B. Jika masih ada keluhan, ia menyarankan masyarakat menyampaikannya langsung ke pemerintah desa masing-masing.
“Kami mengapresiasi upaya transparansi dalam pemanfaatan limbah FABA. Namun, jika masih ada tuntutan, sebaiknya disampaikan melalui pemerintah desa yang dipilih secara demokratis oleh rakyat,” tambahnya.
Peran Pemerintah Desa dan Kebijakan CSR
Mustavit juga menekankan bahwa kebijakan CSR yang melibatkan kepala desa sudah sesuai dengan prinsip demokrasi ekonomi dan kedaulatan rakyat sebagaimana yang diperjuangkan oleh Bung Hatta. Ia menilai keterlibatan kepala desa dalam pengambilan keputusan CSR merupakan langkah yang tepat untuk memastikan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas.
Selain itu, ia menyoroti program pembangunan jalan baru sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap masyarakat. “Pembuatan jalan baru adalah solusi dari perusahaan. Seharusnya masyarakat berterima kasih, bukan malah berpolemik,” katanya.
Ia pun menolak upaya yang dilakukan oleh Koalisi Kembang Bersatu, karena menurutnya tuntutan mereka terlalu subjektif dan tidak berbasis data yang objektif.
Masa Depan CSR dan Kesejahteraan Masyarakat
PLTU Tanjung Jati B menegaskan komitmennya terhadap prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam menciptakan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Pemanfaatan limbah FABA menjadi salah satu wujud konkret dari tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.
Namun, di sisi lain, masyarakat menuntut kejelasan dalam mekanisme distribusi dana CSR agar tidak hanya dikelola oleh segelintir pihak. Polemik ini menunjukkan perlunya komunikasi yang lebih baik antara perusahaan, pemerintah desa, dan masyarakat terdampak agar setiap kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat.
Apakah tuntutan masyarakat ini akan ditindaklanjuti atau justru diabaikan? Hanya waktu yang bisa menjawab. Yang jelas, transparansi dan akuntabilitas tetap menjadi harapan utama masyarakat dalam pengelolaan dana CSR.(Wely-jateng)