jakarta, Bidik-kasusnews.com – Di tengah kecelakaan demi kecelakaan yang terus terjadi di jalan tol, ada satu suara yang terus menggaung dari lembaga pengelola dan pengawas jalan tol:
“Ini karena pengemudi tidak hati hati.”
Kalimat klasik ini seolah jadi tameng sakti menolak tanggung jawab, menafikan realitas, dan menutup mata dari pertanyaan mendasar:
Apakah jalan tol kita sudah selamat?
Ironis. Alih alih menjadi pelindung masyarakat, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) justru kerap menempatkan diri sebagai pemain utama dalam skenario defensif.
Bukan sebagai wasit yang adil, bukan pula pelayan publik, melainkan pelindung kepentingan bisnis dengan bungkus “konektivitas nasional”.
Mereka mungkin belum paham, atau enggan memahami, apa itu jalan yang berkeselamatan:
* Regulating Road Jalan yang mengatur perilaku pengguna dengan rambu dan desain yang jelas.
* Self Explaining Road Jalan yang intuitif dan mudah dipahami, bahkan tanpa harus membaca rambu.
* Forgiving Road Jalan yang memaafkan kesalahan manusia, bukan langsung menjadi arena kematian.
Kata Eddy Suzendi, Advokat LLAJ yang kini sedang mempersiapkan rencana sidang gugatan terhadap BUJT
“Kalau desain jalan tidak punya fitur pengampun, jika tidak ada audit keselamatan yang terbuka dan sistem mitigasi dini, maka jalan tol bukan tempat berlalu lintas melainkan perangkap maut.”
Dalam waktu dekat, Eddy akan membawa perkara kecelakaan tol yang melibatkan infrastruktur rusak ke meja hijau.
“Kita harus buktikan bahwa ini bukan kecelakaan biasa. Ini hasil kelalaian sistemik. Dan negara tidak boleh lagi diam,” tegasnya.
“Kami bukan sedang menyalahkan siapa pun. Kami sedang memperjuangkan agar sistem diperbaiki sebelum nyawa berikutnya melayang,” lanjut Eddy dalam wawancara singkat dengan wartawan di sela sela diskusi publik soal keselamatan jalan.
*Apel Busuk dalam Keranjang Kehidupan*
Ketika konsep konsep jalan selamat diabaikan, lalu jalan tol dijadikan hanya sebagai alat pengembalian investasi, maka kecelakaan bukan semata akibat kelalaian pengguna, tapi buah dari sistem yang cacat.
Dari desain yang abai. Dari pengawasan yang tumpul. Dan dari negara yang memutuskan tidak hadir di tempatnya sendiri.
Kita membanggakan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), tapi faktanya di Indonesia KPBU menjelma menjadi
Kepentingan Pengusaha, Beban untuk Rakyat.
Di Jepang, pengelola tol wajib punya asuransi tanggung jawab mutlak. Di sini? Korban bahkan tak tahu harus mengadu ke mana.
Lalu ketika dibandingkan, dijawab enteng,
“Itu bukan apel dengan apel, ini apel dengan mangga.”
Maka jawab kami:
Benar, ini bukan apel dengan apel. Tapi sayangnya, yang negara berikan kepada rakyat hari ini adalah apel busuk di keranjang kehidupan kami.
*Murphy’s Law dan Cermin Jalanan*
“ _Anything that can go wrong, will go wrong.”
_Apa pun yang bisa salah akan salah jika tidak diantisipasi.__
*Contoh? Banyak.*
* Kendaraan melaju di tol, tiba tiba celah terbuka di penghalang. Mobil terjun bebas, dari jalan terputus , Ayah dan anak selamat secara ajaib. Tapi kelalaian BUJT dan BPJT tak bisa dianggap tidak ada.
* Standing water menyebabkan ratusan mobil tergelincir. Tidak ada median drain. Tapi tetap, pengemudi disalahkan.
* Exit ramp tol, operasional speed sama dengan design speed. No safety margin.
* Kasus pecah ban. BUJT siap ganti rugi. Tapi, apakah keselamatan hanya soal ganti rugi?
Di mana mitigasi? Sistem peringatan dini? Inspeksi berkala?
Ketika skenario terburuk tidak pernah dihitung, maka sistem telah mengundang maut.
*Hukum Baru, Harapan Baru*
Kini kita punya payung hukum baru:
Undang Undang No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Pasal 45 dan Pasal 190 menyebut jelas:
Setiap orang atau badan yang dengan kelalaiannya menyebabkan luka berat atau meninggal dapat dipidana.
Termasuk badan usaha. Termasuk pengelola jalan.
Kata Eddy Suzendi,
“Ini bukan ancaman. Ini panggilan untuk berubah. Kalau negara serius dengan UU barunya, maka BUJT tidak bisa lagi berdiri di balik tembok bisnis. Mereka harus hadir sebagai penjamin keselamatan, bukan hanya penarik tarif.”
* Cukuplah…
* Cukuplah rakyat menanggung apel busuk.
* Cukuplah korban kecelakaan dianggap sekadar angka statistik.
* Cukuplah keselamatan dijadikan variabel tersier di bawah profit dan proyek.
Negara harus kembali ke jalan.
Kembali ke rakyat.
Kembali ke akarnya: bahwa infrastruktur dibangun untuk kehidupan, bukan untuk membunuh secara diam diam.
Kata Eddy Suzendi dengan suara tegas,
” *Jangan biarkan jalan tol menjadi arena pembiaran. Kalau negara diam, maka suara kami akan* *menggema lebih keras.”*
Tentang Penulis
Eddy Suzendi, S.H. adalah advokat yang aktif dalam isu Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta penggagas gerakan “Advokat LLAJ untuk Sistem Transportasi yang Selamat dan Berkeadilan”.
Kontak: 0812-2497-769 – Edi Suzendy , SH .
( Rico )