Jakarta, Bidik-kasusnews.com — Dunia peradilan kembali diguncang. Nama Lady Marsella, seorang perempuan yang pernah melaporkan sindikat pemalsuan Surat Perintah Kerja (SPK) Bansos DKI Jakarta, kini justru berbalik menjadi terdakwa dalam perkara yang menimbulkan banyak tanda tanya publik. Proses hukum yang dijalani Lady Marsella di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disebut-sebut sarat kejanggalan, mulai dari dugaan kriminalisasi, pemaksaan pasal oleh aparat penegak hukum, hingga ketidakwajaran dalam sidang yang menuai kritik dari berbagai kalangan. Dari Pelapor Menjadi Tersangka Awalnya, Lady Marsella diketahui merupakan pelapor yang berhasil membongkar dugaan pemalsuan SPK fiktif Bansos Pemprov DKI, yang menyebabkan kerugian pada lembaga keuangan hingga Rp43 miliar. Atas keberaniannya itu, ia bahkan sempat mendapatkan apresiasi informal dari sejumlah pihak. Namun, nasibnya berubah drastis. Marsella kini didakwa atas sejumlah pasal berat, termasuk penipuan, penggelapan, pemalsuan, dan pencucian uang dalam perkara Nomor 109/Pid.B/2025/PN.Jkt.Pst. Tim kuasa hukumnya menduga, kasus ini merupakan bentuk criminalisasi balik terhadap pelapor yang membongkar kejahatan besar. Rangkaian Kejanggalan Proses Persidangan Menurut informasi yang diperoleh dari tim penelusur media Bidik Kasus, sejumlah kejanggalan terjadi selama persidangan, antara lain: 1. Penahanan Tanpa Kepastian Marsella telah mendekam di Rutan Pondok Bambu selama hampir 10 bulan, dengan dasar penahanan yang disebut tidak jelas dan berubah-ubah sejak penyidikan hingga penuntutan. 2. Perbedaan Pasal Antara Polisi dan Jaksa Dalam BAP Kepolisian, Marsella dikenai Pasal 55 KUHP. Namun saat berkas masuk ke Kejaksaan, dakwaan melonjak hingga 5 pasal, termasuk Pasal 3 UU TPPU, yang ancaman hukumannya jauh lebih berat. 3. Penundaan Persidangan Hingga 10 Kali Proses sidang disebut kerap ditunda tanpa alasan jelas, yang menurut kuasa hukum terkesan disengaja guna menghambat pembelaan dan melelahkan tim hukum terdakwa. 4. Hakim Diganti Usai Dilaporkan ke Bawas MA Seluruh majelis hakim yang sebelumnya menangani perkara ini akhirnya dicopot setelah dilaporkan karena dianggap tidak objektif. Penggantinya dinilai lebih adil oleh pihak kuasa hukum. 5. Upaya Membacakan Keterangan Saksi Tanpa Kehadiran di Sidang Dalam sidang terakhir, terjadi perdebatan keras ketika jaksa meminta keterangan saksi Sunarto cukup dibacakan tanpa kehadiran langsung di pengadilan — meski sebelumnya saksi tersebut sempat hadir dan bersiap memberikan kesaksian yang dianggap janggal dari BAP-nya. Fenomena Baru dalam Dunia Peradilan? Praktik “menunggangi pasal” untuk memaksakan kewenangan, seperti yang dikhawatirkan kuasa hukum Lady Marsella, disebut mulai menjadi tren dalam dunia peradilan modern. Ironisnya, ini dilakukan dengan dalih aturan hukum yang sah, namun mengabaikan semangat keadilan substantif. Publik juga masih mengingat gejolak dalam perkara Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto yang teregister dalam sistem SIPP PN Jakarta Pusat dengan Nomor: 34/Pid.Sus/TPK/2025/PN Jkt dan 36/Pid.Sus.TPK/2025/PN Jkt.Pst, yang juga disebut mengandung kejanggalan serupa — memperkuat dugaan bahwa peradilan kini makin jauh dari substansi keadilan rakyat. Harapan Baru dari Majelis Hakim Pengganti Dalam sidang terakhir, kuasa hukum Lady Marsella menyampaikan apresiasinya atas objektivitas majelis hakim yang baru. Mereka bahkan menyebut hakim pengganti sebagai “Tangan Tuhan di Muka Bumi”, sebuah ekspresi penuh harapan bahwa pengadilan masih bisa menjadi tempat masyarakat lemah mencari keadilan. Penutup: Peradilan Bukan Panggung Sinetron Lembaga peradilan seharusnya menjadi garda terakhir bagi masyarakat pencari keadilan, bukan panggung sandiwara kekuasaan. Upaya penyelundupan hukum dengan membajak pasal demi kepentingan tertentu, jika terbukti, adalah bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap supremasi hukum di Indonesia. Kasus Lady Marsella membuka kembali diskursus penting tentang perlindungan terhadap pelapor, integritas aparat hukum, dan peran media dalam mengawal keadilan di era hukum yang seringkali disesaki oleh kepentingan yang tidak kasatmata.(R.YUDHO)
Jakarta, Bidik-kasusnews.com – Penegakan hukum kembali tercoreng. Tiga hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara korupsi tiga korporasi minyak goreng. Tak tanggung-tanggung, nilai uang suap yang mengalir demi ‘mempengaruhi’ putusan disebut mencapai Rp60 miliar. Sabtu (12/4), penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan serentak di tiga lokasi—Jepara, Sukabumi, dan Jakarta—untuk mengembangkan penyidikan kasus ini. Hasilnya mencengangkan: uang tunai dalam berbagai mata uang asing dan rupiah, mobil-mobil mewah, hingga puluhan sepeda motor dan sepeda disita dari para tersangka. Penggeledahan ini menguatkan bukti keterlibatan para hakim, termasuk DJU, AM, dan ABS, dalam skenario besar pengondisian putusan perkara agar diputus onslag (lepas dari segala tuntutan hukum). Dari hasil pemeriksaan para saksi, terungkap skema permufakatan antara pengacara korporasi minyak goreng berinisial AR dengan tersangka WG. Mereka sepakat mengatur putusan dengan “ongkos” awal Rp20 miliar, yang kemudian naik menjadi Rp60 miliar atas permintaan MAN, Wakil Ketua PN Jakpus saat itu. Uang itu kemudian disalurkan dalam bentuk dolar Amerika dan Singapura, termasuk pembagian ke tiga hakim: DJU, AM, dan ABS, dengan nilai yang bervariasi antara Rp4,5 miliar hingga Rp6 miliar. Uang disamarkan dalam goodie bag, dan bahkan pernah dibagi di depan Bank BRI Pasar Baru. Atas peran masing-masing, Kejaksaan Agung resmi menetapkan DJU, AM, dan ABS sebagai tersangka pada 13 April 2025. Mereka disangkakan melanggar UU Tindak Pidana Korupsi dan kini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung untuk 20 hari ke depan. Kasus ini menambah daftar panjang catatan kelam integritas aparat peradilan. Masyarakat pun menanti langkah tegas lanjutan, termasuk pengusutan aktor-aktor lain di balik layar yang belum tersentuh. (Agus)