Jakarta, Bidik-kasusnews.com – Sidang lanjutan kasus narkotika yang menjerat musisi senior Fariz Rustam Munaf (Fariz RM) kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (21/8). Agenda sidang kali ini adalah pembacaan Duplik oleh tim penasihat hukum terdakwa terhadap Replik yang sebelumnya disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam sidang, Ferdio Simanjuntak, S.H., selaku kuasa hukum Fariz RM, menegaskan bahwa pihaknya menolak seluruh dalil JPU. Ia menyebut replik jaksa hanya pengulangan dari dakwaan dan tuntutan tanpa menghadirkan fakta hukum baru. “Replik tidak menghadirkan argumentasi baru, bahkan mengabaikan keterangan ahli yang menyatakan klien kami adalah penyalahguna, bukan pengedar narkotika,” tegas Ferdio di hadapan majelis hakim. Pokok Duplik Kuasa Hukum Fariz RM Dalam dokumen Duplik, tim pembela menyoroti beberapa poin utama: Unsur Dakwaan Tidak Terpenuhi – Barang bukti narkotika disebut untuk konsumsi pribadi, bukan untuk diedarkan. Hak atas Rehabilitasi – Mengacu Pasal 54 dan 127 UU No. 35 Tahun 2009 serta Perma No. 4 Tahun 2010, pecandu wajib direhabilitasi, bukan dipenjara. Fakta Persidangan Diabaikan – Keterangan ahli dan saksi yang menyebut Fariz RM dalam kondisi ketergantungan tidak dipertimbangkan jaksa. Prinsip Keadilan Restoratif – Kuasa hukum menegaskan perlu pembedaan antara pengedar dan pengguna narkotika. Pernyataan Deolipa Yumara: Harapan pada Hakim Usai sidang, kuasa hukum lainnya, Deolipa Yumara, menegaskan bahwa tim pembela tetap konsisten memperjuangkan rehabilitasi bagi Fariz RM. “Fariz RM adalah pengguna yang kecanduan. Dia harus direhabilitasi, bukan dipenjara. Semua argumentasi sudah kami sampaikan, kini kami serahkan pada kebijaksanaan majelis hakim,” ujar Deolipa. Ia menambahkan, meskipun pihak keluarga kecewa dengan sikap jaksa yang tetap pada tuntutan, dukungan moral terus diberikan kepada Fariz RM. Sidang Putusan Ditentukan 4 September 2025 Majelis hakim kemudian menetapkan sidang selanjutnya pada 4 September 2025 dengan agenda pembacaan putusan. Pada hari itu, akan ditentukan apakah Fariz RM harus menjalani hukuman penjara enam tahun sesuai tuntutan JPU, ataukah menjalani rehabilitasi sebagaimana permintaan kuasa hukum. “Fariz sudah pasrah menerima apapun keputusan hakim. Namun sebagai kuasa hukum, kami berharap hakim menjatuhkan rehabilitasi demi pemulihan, bukan pemenjaraan,” pungkas Deolipa. Catatan Kasus Sebelumnya, JPU menuntut Fariz RM dengan pidana 6 tahun penjara atas kepemilikan narkotika golongan I. Namun, tim pembela menegaskan dasar hukum dan yurisprudensi justru mendukung rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika. Sidang pembacaan putusan pada 4 September mendatang akan menjadi penentu: apakah pengadilan lebih mengedepankan pendekatan represif berupa hukuman, atau pendekatan rehabilitatif demi pemulihan pecandu narkotika.(Agus)
Jakarta, Bidik-kasusnews.com – Sidang lanjutan kasus dugaan penyalahgunaan narkotika dengan terdakwa musisi senior Fariz RM kembali memanas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (14/8/2025). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menolak seluruh nota pembelaan (pledoi) yang diajukan pihak terdakwa dan tetap bersikukuh menuntut hukuman enam tahun penjara. JPU berpendapat, bukti dan fakta yang terungkap selama persidangan sudah cukup kuat untuk menyatakan Fariz RM bersalah melanggar Pasal 114 dan/atau Pasal 111 Undang-Undang Narkotika. Tuduhan tersebut mencakup kepemilikan, penyimpanan, dan penguasaan narkoba jenis ganja serta sabu, yang diduga melibatkan sopirnya. “Penyesalan terdakwa tidak dapat dipercaya karena sudah berulang kali terjerat kasus serupa,” tegas jaksa, seraya menolak permintaan rehabilitasi yang diajukan tim kuasa hukum. Sebelumnya, tim pembela yang dipimpin Deolipa Yumara menegaskan bahwa Fariz RM hanyalah pengguna narkoba, bukan pengedar. Mereka meminta majelis hakim mempertimbangkan hukuman rehabilitasi sesuai ketentuan bagi pecandu, dengan alasan sang musisi merupakan korban penyalahgunaan narkotika. Namun, JPU menilai argumen tersebut tidak berdasar dan hanya bersifat asumsi. Selain enam tahun penjara, jaksa juga menuntut denda Rp800 juta subsider enam bulan kurungan, dengan harapan vonis yang dijatuhkan dapat memberikan efek jera, khususnya bagi publik figur yang seharusnya menjadi teladan. Kasus ini menarik perhatian publik karena mempertemukan dua pandangan berbeda dalam penegakan hukum narkotika: tuntutan pidana penjara yang tegas versus upaya rehabilitasi bagi pengguna. Keputusan akhir kini berada di tangan majelis hakim yang akan mempertimbangkan seluruh fakta persidangan sebelum menjatuhkan vonis. “Dalam keterangannya kepada awak media di halaman parkir pengadilan Negeri Jaksel, Deolipa menjelaskan bahwa pledoi yang diajukan tim kuasa hukum bertujuan meyakinkan hakim bahwa Fariz RM layak dibebaskan. Menurutnya, perbedaan pendapat yang muncul dengan JPU terutama menyangkut dua hal: status Fariz RM sebagai pecandu dan pengakuan publik terhadapnya sebagai legenda musik Indonesia. “Jaksa berpendapat Fariz RM bukan pecandu karena fisiknya sehat saat datang ke persidangan. Kami justru menilai fakta bahwa dia pernah menggunakan menunjukkan adanya ketergantungan, meski saat ini kondisinya sehat. Itulah perbedaan penafsiran pertama,” jelas Deolipa. Perbedaan kedua, lanjutnya, adalah soal pengakuan status Fariz RM sebagai legenda musik. “Bagi kami, beliau adalah legenda musik karena kontribusinya yang diakui publik. Tapi bagi jaksa, status legenda itu tidak cukup tanpa membandingkan dengan tokoh-tokoh musik lainnya. Meski begitu, dalam hukum, semua orang tetap diperlakukan sama,” ujar Deolipa. Terkait replik yang telah dibacakan jaksa secara tertulis, pihak kuasa hukum akan menanggapinya dalam bentuk duplik pada 21 Agustus 2025. “Nanti di duplik itu kami jelaskan perbedaan penafsiran yang sifatnya substantif,” menanggapi pertanyaan soal kontribusi Fariz RM terhadap negara, Deolipa menilai semua warga negara berkontribusi, sekecil apapun. “Kontribusi paling sederhana adalah membayar pajak, seperti pajak kendaraan atau pajak bumi dan bangunan. Fariz juga melakukan itu. Kami bahkan sudah mengajukan permohonan abolisi kepada Presiden. Biasanya prosesnya memakan waktu sekitar enam bulan, sementara putusan pengadilan bisa lebih cepat,” katanya. “Jaksa tidak menjelekkan saksi ahli dan tidak mengindahkan keterangan kami secara negatif. Itu patut diapresiasi,” ujarnya. Sidang perkara narkotika yang menjerat Fariz RM akan berlanjut pada 21 Agustus 2025 dengan agenda pembacaan duplik dari pihak terdakwa. (Agus)
Jakarta, Bidik-kasusnews.com —Persidangan kasus dugaan penyalahgunaan narkoba dengan terdakwa musisi senior Fariz RM kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (11/8/2025). Agenda kali ini adalah pembacaan pembelaan atau pledoi dari pihak terdakwa, yang menolak seluruh tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Kuasa hukum Fariz RM, Deolipa Yumara, menegaskan tidak sepakat dengan tuntutan enam tahun penjara yang diajukan jaksa. Menurutnya, kliennya adalah pengguna, bukan pengedar narkoba, sehingga penerapan pasal selama ini dinilai keliru. “Pledoi sudah kami siapkan, dan kami akan mengajukan permohonan rehabilitasi. Pak Fariz tidak layak dipenjara, karena ia butuh perawatan, bukan hukuman badan,” tegas Deolipa usai persidangan. Fariz RM juga menyiapkan pembelaan pribadi yang akan dibacakan langsung di hadapan majelis hakim, didampingi tim kuasa hukum. Upaya ini menjadi bentuk penolakan terhadap tuntutan yang dianggap memberatkan dan tidak adil. Kasus ini mendapat perhatian publik karena menyoroti dilema penanganan pengguna narkoba di Indonesia—antara pendekatan hukum yang memenjarakan atau pendekatan medis melalui rehabilitasi. Tim kuasa hukum dan keluarga berharap sidang ini menjadi preseden bahwa pengguna aktif seharusnya dipandang sebagai pasien yang perlu pemulihan, bukan pelaku kejahatan yang harus mendekam di penjara. Putusan hakim atas pledoi dan permohonan rehabilitasi Fariz RM akan menjadi penentu arah penanganan kasus narkoba di masa depan. Publik kini menanti, apakah keadilan akan memilih jalan pemulihan atau tetap menjatuhkan hukuman penjara bagi pengguna seperti Fariz RM.(Agus)
Jakarta, Bidik-kasusnews.com – Penyanyi legendaris Fariz RM menghadapi tuntutan enam tahun penjara dan denda sebesar Rp800 juta subsider enam bulan kurungan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus dugaan penyalahgunaan narkotika yang menjeratnya. Tuntutan tersebut dibacakan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (4/8/2025), setelah dua kali mengalami penundaan sebelumnya. Jaksa mendakwa Fariz RM melanggar Pasal 114, 112, dan 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ketiga pasal itu umumnya digunakan untuk menjerat pelaku pengedar narkoba. Namun, kuasa hukum Fariz RM, Deolipa Yumara, menilai dakwaan jaksa terlalu berat dan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Menurutnya, kliennya hanyalah seorang pengguna yang seharusnya dipandang sebagai korban ketergantungan, bukan pelaku kejahatan. > “Fakta-fakta di persidangan menunjukkan jelas bahwa Fariz adalah pengguna, bukan pengedar. Tapi ia tetap dikenai pasal-pasal berat. Ini sangat tidak adil,” tegas Deolipa usai sidang. Deolipa juga mengkritik pendekatan hukum yang masih kaku dan belum berpihak pada upaya rehabilitasi pengguna narkoba. Ia menyebut tuntutan enam tahun penjara justru bertentangan dengan semangat penyelamatan korban penyalahgunaan narkotika. > “Seharusnya pengguna seperti Fariz RM diselamatkan, bukan dihancurkan. Ini seperti orang yang sudah jatuh, masih ditimpa tangga dan ember pula,” sindir Deolipa. Pihak kuasa hukum menyatakan akan mengajukan pembelaan (pledoi) dalam sidang berikutnya, baik dari Fariz RM secara pribadi maupun dari tim hukumnya. Selain itu, mereka berencana mengirim surat kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, guna meminta pengampunan hukum dalam bentuk abolisi atau amnesti. > “Kalau koruptor bisa diberi amnesti, mengapa tidak bagi korban narkoba? Kami akan bersurat kepada Presiden demi menyelamatkan kehidupan seseorang yang seharusnya direhabilitasi, bukan dipenjara,” lanjutnya. Lebih jauh, Deolipa mengingatkan bahwa Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) pun pernah menyatakan bahwa pengguna narkoba sebaiknya direhabilitasi, bukan dipenjara. Pernyataan itu, katanya, seharusnya menjadi dasar perubahan pendekatan dalam penegakan hukum kasus narkotika. Sidang lanjutan dijadwalkan dalam waktu dekat dengan agenda pembacaan pledoi dari pihak terdakwa. Kuasa hukum berharap majelis hakim mempertimbangkan fakta persidangan secara objektif dan memberikan putusan yang berkeadilan serta berorientasi pada pemulihan, bukan penghukuman semata.(Agus)
Jakarta, Bidik-kasusnews.com – Sidang pembacaan tuntutan terhadap musisi senior Fariz RM di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali ditunda untuk kedua kalinya. Penundaan ini diklaim sebagai bentuk kehati-hatian kejaksaan dalam menentukan dasar hukum yang tepat terkait status Fariz RM sebagai pengguna atau pengedar narkotika.(28/7/2025) Sidang perkara narkotika yang menjerat musisi senior Fariz RM kembali mengalami penundaan. Agenda pembacaan tuntutan yang seharusnya digelar pada Senin, 28 Juli 2025, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kini dijadwalkan ulang menjadi Senin, 4 Agustus 2025. Kuasa hukum Fariz RM, Deolipa Yumara, mengungkapkan bahwa alasan penundaan berasal dari kehati-hatian pihak kejaksaan dalam memproses perkara ini. Menurutnya, baik Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, hingga Kejaksaan Agung sedang mempertimbangkan dengan cermat pasal-pasal yang akan digunakan untuk menuntut kliennya. “Ini penundaan kedua, dan kami menilai langkah jaksa cukup bijak. Mereka berupaya memastikan bahwa pasal yang digunakan benar-benar sesuai dengan fakta hukum di persidangan,” ujar Deolipa kepada wartawan. Deolipa menegaskan, fakta persidangan sejauh ini menunjukkan bahwa Fariz RM lebih tepat disebut sebagai pengguna narkotika ketimbang pengedar. Namun, dakwaan awal yang ditujukan kepada musisi legendaris itu mencakup Pasal 111 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang biasa dikenakan kepada pelaku pengedaran. “Dakwaan itu sedang dikaji ulang. Kami melihat langkah kejaksaan ini sebagai sinyal positif, bahwa kemungkinan besar tuntutannya nanti akan mengarah pada rehabilitasi, bukan pemidanaan,” tambah Deolipa. Dalam proses persidangan sebelumnya, tidak ditemukan bukti kuat yang menyatakan bahwa Fariz RM terlibat dalam aktivitas jual beli narkotika. Hal ini menguatkan dugaan bahwa ia adalah korban kecanduan dan berhak atas perlindungan hukum melalui rehabilitasi, sesuai dengan kebijakan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN sendiri menyatakan bahwa pengguna narkotika seharusnya diperlakukan sebagai korban dan diutamakan untuk mendapatkan rehabilitasi, bukan hukuman penjara. Pernyataan ini menjadi landasan hukum yang mendukung arah tuntutan yang lebih manusiawi bagi korban penyalahgunaan narkotika. “Artis pun kalau pengguna seharusnya direhabilitasi. Tapi kalau terbukti sebagai pengedar, tetap harus diproses hukum,” kata Deolipa. Kondisi Fariz RM saat ini juga menunjukkan pemulihan yang positif. Ia terlihat lebih sehat, rapi, dan bahkan sudah mulai kembali menjalani aktivitas bermusik, sebagai bagian dari proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Sidang lanjutan dijadwalkan akan digelar pada Senin, 4 Agustus 2025. Kuasa hukum berharap proses hukum dapat berlangsung adil dan mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan, demi memberikan perlindungan terbaik bagi kliennya yang dinilai sebagai korban, bukan pelaku kejahatan narkotika.(Agus)
Bidik-kasusnews.com,Pontianak kalimantan Barat Di tengah riuhnya hiruk pikuk dunia jurnalistik, terkadang kita lupa bahwa di balik setiap berita, ada manusia dengan segala perasaan dan kehormatan yang harus dijaga. Kisah ini adalah tentang Wawan Suwandi, seorang wartawan yang telah mengabdikan dirinya pada dunia jurnalistik sejak tahun 1996. Namun, kini ia harus menghadapi badai pemberitaan yang mengoyak-ngoyak reputasinya. Seorang lelaki, dengan sorot mata yang tajam dan penuh tekad, menatap layar monitor. Bibirnya berkomat-kamit, merapalkan kata-kata yang sarat makna. Dialah Sudirman SH MH, seorang kuasa hukum yang berdiri teguh membela kliennya, Wawan Suwandi. Sudirman juga menjabat sebagai Ketua Divisi Hukum dan Pembelaan Wartawan PWI Kalbar. Kala Pena Menari di Atas Luka Sudirman SH MH dengan lantang menyuarakan keprihatinannya terhadap pemberitaan yang menimpa Wawan Suwandi. Ia menyebutkan bahwa berita-berita tersebut dibuat oleh oknum yang mengaku sebagai wartawan dan beberapa media yang menayangkannya, telah melanggar asas praduga tak bersalah. Lebih dari itu, pemberitaan tersebut dinilai tidak sesuai dan melanggar kode etik jurnalistik. “Apa yang dibuat oleh beberapa oknum yang mengaku sebagai wartawan dan beberapa media yang menerbitkan berita dan menayangkannya mengenai klien saya yang bernama Wawan Suwandi, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan azas praduga tidak bersalah serta tidak sesuai dan melanggar kode etik jurnalistik dalam menulis beritanya,” tegas Sudirman SH MH pada Kamis, 24 Juli 2025, di Kota Pontianak. Sebuah Pelanggaran Sudirman SH MH mengungkapkan bahwa berita yang beredar tersebut dibuat secara sepihak, tanpa adanya keterangan yang memadai dan tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip jurnalistik yang seharusnya dijunjung tinggi. Sebagai kuasa hukum, Sudirman SH MH tidak tinggal diam. Ia menegaskan bahwa pasal-pasal hukum telah dilanggar dan dapat menjerat para terlapor. “Seperti adanya unsur pidana pencemaran nama baik serta sebagaimana diatur dalam pasal dan UU ITE sebagaimana telah diatur dalam pasal. Dengan ancaman hukuman,” jelas Sudirman. Di tengah badai pemberitaan, Sudirman SH MH juga menegaskan legalitas Wawan Suwandi sebagai Plt Ketua PWI Kalbar. Legalitas ini didasarkan pada Surat Keputusan PWI Pusat Nomor: 133-PGS/A/PP-PWI/II/2025 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Pengurus PWI Provinsi Kalbar, sisa masa bakti 2024-2029. Surat keputusan tersebut ditetapkan di Jakarta pada 21 Februari 2025 dan ditandatangani oleh Ketua Umum PWI Pusat, Zulmansyah Sekedang, Ketua Bidang Organisasi Mirza Zulhadi, dan Sekretaris Jenderal Wina Armada Sukardi. Keheranan Seorang Wartawan Senior Wawan Suwandi, seorang wartawan yang telah malang melintang di dunia jurnalistik sejak tahun 1996, tentu saja merasa kaget dan terluka dengan pemberitaan yang menimpanya. Pengalaman panjangnya sebagai wartawan, baik di media lokal Kalbar maupun nasional, membuatnya heran dengan kualitas karya tulis yang dibuat oleh oknum-oknum tersebut. Pasal-Pasal yang Dilanggar Sudirman SH MH merinci pasal-pasal yang dilanggar dalam pemberitaan tersebut, di antaranya: – Pasal 27 ayat 3 UU ITE, tentang pencemaran nama baik. – Pasal 311 KUHP, tentang pencemaran nama baik. – Pasal 311 KUHP, tentang pencemaran nama baik secara terbuka. Sudirman SH MH menegaskan bahwa somasi yang ditujukan kepada Wawan Suwandi merupakan berita yang menyesatkan publik. Ia juga menekankan bahwa Wawan Suwandi tidak memiliki hubungan hukum dengan Hendry Chairudin Bangun. Sebuah Renungan untuk Jurnalisme yang Lebih Baik Kisah ini adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi dunia jurnalistik. Di tengah arus informasi yang deras, kita harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip jurnalistik yang luhur. Kejujuran, keberimbangan, dan konfirmasi adalah kunci untuk menghasilkan berita yang berkualitas dan bertanggung jawab. Semoga kisah Wawan Suwandi ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu menjaga martabat profesi wartawan dan mengedepankan kebenaran dalam setiap pemberitaan. Wartawan Basori
Jakarta, Bidik-kasusnews.com – Sidang kasus dugaan penyalahgunaan narkotika yang menjerat musisi senior Fariz RM kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (21/7),JPU minta waktu ditunda hingga dua minggu ke depan, namun Hakim memutuskan sidang lanjutan pada senin 28 Juli 2025. Penundaan ini memberi ruang bagi tim kuasa hukum Fariz RM untuk menyusun pledoi sekaligus menyoroti dakwaan jaksa yang dinilai tidak sesuai dengan fakta hukum. (21/7/2025) Deolipa Yumara, pengacara Fariz RM, menyampaikan keberatannya atas dakwaan jaksa penuntut umum yang mencantumkan tiga pasal dengan tuduhan sebagai pengedar narkoba. Menurutnya, tuduhan tersebut tidak berdasar karena kliennya lebih tepat dikategorikan sebagai pengguna. > “Pasal yang relevan untuk pengguna adalah Pasal 127 Undang-Undang Narkotika. Namun pasal ini justru tidak dimasukkan dalam dakwaan. Kami menilai ini sebagai bentuk kekeliruan yang berpotensi memunculkan ketidakadilan,” ujar Deolipa di depan ruang sidang. Ia menambahkan, tidak terdapat bukti kuat ataupun saksi yang mengarah bahwa Fariz adalah pengedar. Oleh karena itu, pihaknya meminta agar jaksa mempertimbangkan ulang dakwaan dan menyesuaikan dengan posisi hukum Fariz RM sebagai korban penyalahgunaan narkoba. Lebih lanjut, Deolipa mengapresiasi langkah progresif Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menegaskan bahwa pengguna narkotika tidak akan dipidana, melainkan wajib direhabilitasi. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah tepat untuk mencegah kriminalisasi korban dan menekan angka penyalahgunaan narkoba di masyarakat. > “Kami juga mendorong keluarga pengguna agar tidak takut melapor ke BNN. Dengan begitu, rehabilitasi bisa segera dijalankan dan korban mendapat penanganan medis serta psikologis yang tepat,” tambahnya. Selama menjalani masa penahanan, Fariz RM dikabarkan dalam kondisi sehat dan menunjukkan perkembangan positif. Ia tidak lagi mengonsumsi narkoba dan kini mulai menjalani pemulihan. Bahkan, Fariz disebut telah kembali menciptakan lagu sebagai sarana ekspresi emosinya selama proses hukum berjalan. Meskipun sidang hari ini belum menghasilkan putusan, pihak kuasa hukum akan memanfaatkan waktu hingga persidangan berikutnya untuk menyusun pledoi atau nota pembelaan. Pledoi tersebut akan memuat keberatan substansial terhadap dakwaan yang dianggap tidak tepat. Kasus Fariz RM kembali menyoroti pentingnya pembedaan antara pengguna dan pengedar dalam sistem peradilan, serta menjadi pengingat bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan pendekatan rehabilitatif yang telah ditegaskan oleh BNN. Sidang lanjutan dijadwalkan dua minggu mendatang.(Agus)
Jakarta, Bidik-kasusnews.com, 17 Juli 2025 — Setelah menjalani proses hukum yang panjang dan melelahkan selama lebih dari 10 bulan di Rutan Pondok Bambu, Lady Marsella, tokoh publik sekaligus aktivis hukum, akhirnya dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan ini dibacakan dalam sidang terbuka oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Rios Rahmanto, S.H., M.H., didampingi dua anggota majelis, Sunoto, S.H., M.H. dan Eryusman, S.H., M.H. Dalam Amar Putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Lady Marsella tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan, dan dengan tegas membebaskan dirinya dari seluruh dakwaan. > “Menyatakan Terdakwa Lady Marsella tidak terbukti melakukan tindak pidana, membebaskan terdakwa dari semua dakwaan, serta memerintahkan agar terdakwa segera dibebaskan dari tahanan,” tegas hakim Rios. Putusan ini menjadi pukulan telak terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut hukuman 11 tahun penjara, salah satu tuntutan tertinggi di PN Jakarta Pusat dalam beberapa bulan terakhir. Perjalanan Panjang Kasus Lady Marsella Kasus ini bermula dari laporan Lady Marsella sendiri terkait dugaan pemalsuan SPK bansos yang mengatasnamakan Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2020. Namun ironisnya, keberaniannya membuka kejahatan itu justru menyeretnya menjadi tersangka. Sejak 19 September 2024, Lady Marsella resmi ditahan setelah memenuhi undangan klarifikasi dari Polda Metro Jaya. Proses ini berlanjut ke tahap penuntutan dan persidangan dengan Nomor Perkara: 109/Pid.B/2025/PN.Jkt.Pst., yang dimulai pada 6 Maret 2025. Tim Kuasa Hukum Lady Marsella yang dikomandoi oleh Iwan Peci dari Kantor Hukum Yabpeknas ~ Gaspool Law Office, menilai kasus ini sarat kejanggalan dan mengarah pada kriminalisasi. “Ini adalah bentuk kriminalisasi gaya baru. Dakwaan JPU yang tumpang tindih dan saling tumpang tindih menandakan ketidakyakinan dan kelemahan konstruksi hukum mereka,” jelas Iwan Peci. Melayangkan keberatannya bukan terkait Dakwaan tapi terhadap ketidak objektifan dan ketidak profesionalan hakim terdahulu dalam melaksanakan proses persidangan; kalo mslh Dakwaan kita sudah mengingatkan melalui upaya (Eksepsi). Banyak dukungan dari elemen Masyarakat dan juga Praktisi Hukum yg hadir di ruang sidang pada agenda putusan tersebut. Selain itu Lady Marsella pernah aktif menjadi salah satu bagian tim kerja Sandiaga Uno [Duta dalam bid. Penggiat sosial dan kebersihan Masyarakat]. Menurutnya, sejak awal penyusunan dakwaan telah melanggar pedoman dan yurisprudensi yang berlaku. Bahkan, tim kuasa hukum sempat melayangkan keberatan kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung (BAWAS MA), yang kemudian berujung pada pergantian total Majelis Hakim. Dukungan Masyarakat dan Lega di Ruang Sidang Putusan pembebasan disambut haru dan bahagia oleh Lady Marsella, keluarganya, serta rekan-rekan pegiat hukum yang selama ini mengikuti persidangan. Tangis bahagia, pelukan, hingga sujud syukur menyertai detik-detik kebebasannya. Lady Marsella dikenal sebagai sosok publik figur yang aktif dalam dunia sosial dan hukum. Ia juga tercatat sebagai Duta Edukasi & Sosialisasi Hukum di lembaga hukum ternama dan penggerak Gerakan Masyarakat Sadar Hukum (GEMADARKUM). Selain itu, Lady aktif dalam berbagai kegiatan usaha, dan pernah menjadi bagian dari tim kerja Sandiaga Uno di sektor edukasi dan UMKM. Pernyataan Penutup dari Kuasa Hukum > “Putusan ini bukan hanya kemenangan untuk Lady Marsella, tetapi juga sinyal bahwa keadilan masih hidup di negeri ini,” ungkap Iwan Peci sambil menegaskan kembali semboyan timnya: “Sekali Toga Pembela Terpasang – Pantang Pulang Sebelum Menang dan Tegaknya Keadilan!” Putusan tersebut juga menetapkan bahwa seluruh barang bukti dikembalikan dan biaya perkara dibebankan kepada negara. Kisah Lady Marsella menjadi potret perjuangan melawan dugaan kriminalisasi dan ketimpangan hukum. Ia bukan hanya keluar dari tahanan, tapi juga memenangkan haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan keadilan yang utuh.(Agus)
JAKARTA, BIDIK-KASUSNEWS.COM – Pengacara R. Machrio Achmad Nurhatta, S.H., M.H., yang akrab disapa Machi Achmad, mengungkapkan bahwa agenda hari ini, Jumat (11/7), semula adalah panggilan klarifikasi tambahan dari Polres Jakarta Selatan kepada kliennya, Kimberly Ryder. Namun, melalui komunikasi intensif antara kuasa hukum kedua belah pihak, akhirnya diputuskan untuk melakukan mediasi di hari yang sama. “Sekitar pukul 11 siang kami tiba di Polres, lalu dipotong dengan sholat Jumat, dan mediasi berlangsung hingga pukul 14.00,” ujar Machi Achmad. Mediasi yang berjalan selama kurang lebih tiga jam itu berhasil mencapai kesepakatan penting. Salah satu poin utama kesepakatan adalah bahwa mobil yang menjadi objek sengketa ternyata masih ada dan dalam perawatan baik oleh Edward Ahmad. Mobil tersebut nantinya akan dijual dan hasilnya diperuntukkan bagi anak-anak. Selain itu, kedua belah pihak—baik pelapor Kimberly maupun terlapor yang dalam hal ini adalah Edward—telah menyetujui penyelesaian perkara secara kekeluargaan. Dalam proses tersebut, juga dibahas mengenai rumah di Bali, yang kesepakatannya akan dituangkan secara resmi melalui notaris. Machi Achmad menambahkan, “Kami juga telah mengajukan permohonan pencabutan laporan polisi terkait dugaan penggelapan yang sebelumnya dilakukan terhadap klien kami, Kimberly.” Kesepakatan damai tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk penandatanganan dokumen oleh kedua belah pihak, disaksikan oleh pihak Polres Jakarta Selatan, khususnya Unit Ranmor. Pengacara itu mengucapkan terima kasih kepada Polres Jakarta Selatan atas fasilitasi mediasi hingga laporan kepolisian akhirnya resmi dicabut, sehingga perkara ini dapat diselesaikan secara damai dan kekeluargaan.
JAKARTA, Bidik-kasusnews.com – Momen tak terduga terjadi dalam persidangan kasus dugaan pemerasan yang melibatkan publik figur Nikita Mirzani. Sebuah video viral memperlihatkan Nikita tampak mengabaikan sapaan dari sosok viral bernama Doktif, yang dikenal sebagai “dokter detektif” bertopeng, saat hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pekan lalu. Dalam video tersebut, Doktif terlihat mengulurkan tangan untuk bersalaman, namun Nikita justru melewati tanpa merespons dan lebih memilih menyapa dr. Oky Pratama, sosok lain yang juga hadir dalam persidangan tersebut. Aksi itu langsung memicu spekulasi di media sosial. Sejumlah netizen menilai ada ketegangan antara Nikita dan Doktif, bahkan menyebut Nikita sengaja bersikap demikian karena merasa Doktif bukan bagian dari pihak yang mendukungnya. Saat dikonfirmasi usai sidang pada Senin, 8 Juli 2025, Nikita memberikan tanggapan yang memperkuat dugaan publik. Ia secara terbuka mengaku memang tidak ingin menyapa Doktif. “Iya (sengaja cuekin), gak usah dateng deh,” ujar Nikita kepada awak media di halaman Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika diminta menjelaskan lebih lanjut alasan di balik sikapnya tersebut, ibu tiga anak ini menyatakan bahwa kehadiran terlalu banyak pihak dalam persidangan justru membuat suasana tidak kondusif. “Ya gak apa-apa, rame-ramein aja gak usah,” tambahnya singkat. Diketahui, hubungan antara Nikita Mirzani dan Doktif memang tidak terlalu dekat. Mereka hanya beberapa kali bertemu selama kasus skincare ini mencuat ke publik. Di sisi lain, muncul dugaan bahwa target utama dalam dugaan pemerasan yang melibatkan Reza Gladys justru bukan Nikita, melainkan Doktif sendiri. Hal ini semakin memperkeruh dinamika di antara tokoh-tokoh yang terlibat dalam kasus tersebut. Pakar komunikasi publik menilai, tindakan Nikita merupakan bentuk penegasan sikap pribadi dalam menghadapi dinamika hukum yang sedang berjalan. Namun, mereka juga mengingatkan pentingnya menjaga etika dan sikap profesional dalam ruang persidangan. Sampai saat ini, baik pihak Doktif maupun kuasa hukumnya belum memberikan pernyataan resmi menanggapi sikap Nikita di pengadilan. Sidang lanjutan kasus ini dijadwalkan akan digelar pekan depan. (Fahmy)